Meskipun tidak separah hari ini, lalu lintas Batavia—nama lama untuk Jakarta—kerap didera kemacetan setiap kali ada pesta pernikahan. Arak-arakan kereta berkuda tak terhitung banyaknya, apalagi kalau yang punya hajat adalah keluarga pejabat VOC. Mereka menuju Kastil Batavia untuk melaksanakan prosesi pemberkatan dan pencatatan sipil.
Kastil Batavia nan megah di muara Sungai Ciliwung itu memang sudah tidak ada lagi. Lokasinya kini dibelah Jalan Tongkol, di kawasan Kota Tua Jakarta. Setidaknya, ada tiga bangunan semasa yang menjadi saksi atas kemegahan Kastil Batavia: gedung Galangan Kapal VOC, Gudang VOC Timur, dan Gudang VOC Barat yang kini menjadi Museum Bahari.
Kala itu, kereta mempelai yang ditarik empat ekor kuda biasanya diiringi kereta-kereta kuda lain yang membawa serta keluarga besar, kerabat, dan teman. Jumlah kuda penarik kereta juga menandakan kelas. Keluarga Gubernur Jenderal, misalnya, menggunakan kereta yang dihela enam ekor kuda.
Arak-arakan pernikahan mewah itu bergerak melambat menyeberangi jembatan menuju pintu gerbang selatan Kastil Batavia, kemudian memasuki kastil menuju balai kota dan gereja. Akibatnya, terjadi kemacetan yang mengular di sepanjang jalan hingga di halaman dalam kastil. Sebuah masalah bagi kota yang baru dibangun ini.
Gambar: Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar Barat. Di latar depan tampak kesibukan pasar ikan sekitar 1656 (Tropenmuseum/Wikimedia) |
Pamer kekayaan di depan publik juga mewarnai pemerintah Batavia abad ke-17. Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) sengaja membuat “Aturan tentang Perayaan Resmi dan Megah” pada 30 Desember 1754. Aturan yang dibikinnya berkait dengan kepemilikan simbol kekayaan yang paling nyata saat itu: kereta kuda dan parasol.
Tujuan peraturan tersebut sekadar membedakan status sosial warga Batavia, bukan membedakan antara warga Eropa dan Asia. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam VOC, semakin mewah upacara pernikahannya, dan semakin banyak jumlah barang mahal yang diperbolehkan. Dalam peraturan Mossel tersebut, perayaan keluarga—seperti pembaptisan dan pernikahan—akan dikenakan pajak. Pajak dihitung berdasarkan jumlah kereta kuda yang menghadiri perhelatan tersebut.
Rupanya, pajak tidak mempan untuk menyurutkan arak-arakan kereta nan mewah dan panjang dalam perhelatan pernikahan. Dan, hal ini kerap menjadi biang kemacetan. Akhirnya, pada masa Gubernur Jenderal Willem Alting (1780-1797), pemerintah kota melarang penggunaan iring-iringan kereta kuda untuk acara pernikahan. Aturan pun tegas, bagi yang melanggar akan didera denda. Pemungutan denda dilakukan oleh pihak gereja.
Seolah sudah menjadi gaya hidup, arak-arakan kereta kuda yang mengantar pengantin dan keluarga mereka sengaja datang terlambat ke prosesi pemberkatan di gereja. Pasangan datang terlambat setelah lonceng gereja berdentang ketiga kalinya. Saat terlambat dan dinantikan oleh banyak tamu undangan itulah kedua mempelai ingin menunjukkan status sosial mereka sebagai keluarga yang mampu. Denda pun menjelma sebagai alat penegas gengsi.
Sengaja datang terlambat dan menjadi biang kemacetan sudah menjadi mode dan prestise masyarakat berkelas pada abad ke-17. Kemudian, pemerintah kota pun berupaya mengaturnya lagi dengan denda tambahan: Bagi mereka yang menggunakan satu kereta pengiring atau lebih, maka mereka wajib membayar denda dua kali lipat.
Tak semua warga Batavia berasal dari status sosial yang tinggi. Ada juga yang keberatan soal denda ini. Pasangan pengantin yang keberatan mencoba mengakalinya dengan cara menghentikan iring-iringan di tepian Kali Besar, agak jauh dari gereja. Lalu, mereka melanjutkan dengan jalan kaki menuju gereja sehingga menghindari kemacetan dan terbebas dari denda.
Apakah perilaku pamer kekayaan dan datang terlambat yang kerap kita jumpai dalam kehidupan masa kini di Kota Jakarta merupakan kelanjutan tabiat penghuni awal Kota Batavia?
ternyata dari dulu jakarta itu sudah macet yah hehe :D
BalasHapus